Sehat adalah permata yang paling berharga bagi kehidupan. Karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Layaknya sebuah pepatah, mensana in corpore sano. Dengan jiwa yang sehat hidup pun akan lebih berkualitas. Semua urusan akan mudah dikerjakan. Segala persoalan akan mudah dipecahkan. Dan segenap pekerjaan akan mudah diselesaikan. Karena kesehatan adalah kebutuhan bukan keharusan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kesehatan begitu identik dengan kesejahteraan. Ia memiliki hubungan timbal balik yang begitu nyata. Masyarakat yang sehat akan lebih mudah bekerja. Dengan begitu ia akan semakin sejahtera. Begitu juga sebaliknya, kesejahteraan akan mudah menjadikan masyarakat hidup sehat. Karena sehat begitu mahal harganya. Terutama di negeri ini. Indonesia.
Sehat bagi sebagian kita mungkin bukan masalah yang berarti. Karena kita memiliki banyak sarana untuk mewujudkan hidup yang sehat. Namun tidak demikian bagi orang miskin, kesehatan bagi mereka bagaikan punguk merindukan bulan saja. Jangankan hidup berkecukupan, hidup sehat saja alangkah susahnya. Kampanye pemerintah tentang jaminan kesehatan gratis ternyata hanya bualan semata tanpa ada langkah nyata. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, yang konon akan mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010, ternyata hanya tiupan angin surga.
Buktinya saat ini pemerintah terkesan tutup mata dan tutup telinga dalam mendengar dan melihat nasib si miskin. Tidak jarang kesehatan masyarakat tergadaikan hanya oleh selembar kertas birokrasi. Lihat saja kejadian beberapa waktu lalu terhadap M. Rizki, seorang bayi yang mengidap hedrocefalus yang berasal dari Aceh Tenggara. Ia terpaksa berulang kali di bawa ke Rumah Sakit. Namun, Rumah Sakit dan instansi terkait tanpa sungkan dengan entengnya menyatakan tidak dapat melakukan tindakan medis karena sang bayi belum memiliki kartu JAMKESMAS.
Padahal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dan Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur terpenuhinya hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.
Ungkapan satiris bahwa orang miskin dilarang sakit ternyata bukanlah kata-kata gurauan semata. Bila tidak ada uang, sakit bagi si miskin adalah malapetaka yang menjerat leher. Pasien dan keluarganya sama-sama menderita. Bolak-balik ke rumah sakit tentunya menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi proses pengobatan yang kerap tertunda lantaran ketiadaan biaya.
Menanggapi permasalahan semacam ini, nampaknya pemerintah Aceh lah yang paling sigap mengambil langkah antisipasi. Lihat saja, mulai tahun ini, 2010, Pemerintah Aceh telah menganggarkan biaya kesehatan untuk 3,8 juta masyarakat Aceh sebesar Rp.16.000,-/orang dalam APBA tahun ini. Anggaran tersebut diflotkan dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Sedangkan selebihnya diprioritaskan akan mendapatkan jaminan kesehatan dari Askes, Jamkesmas, dan asuransi kesehatan lain.
Bukti keseriusan Pemerintah Aceh juga terlihat dari pengakuan Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr. M. Yani, M. Kes. saat peluncuran program tersebut awal Juni lalu. Dia menyatakan bahwa masyarakat telah dapat menggunakan fasilitas JKA ini, meki belum memiliki kartu JKA. Masyarakat cukup memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan surat keterangan dari kepala desa. Bahkan ia menegaskan bahwa program ini juga berlaku bagi masyarakat Aceh yang sedang berada di luar daerah.
Namun sungguh ironis, lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sangat berbeda. Lihat saja peristiwa yang menimpa Iqbal, 8, pasien asal Bireun yang mengalami bocor jantung dan harus dioperasi di rumah sakit Harapan Kita Jakarta. Pihak rumah sakit menolak mengoperasi Iqbal yang menggunakan fasilitas JKA. Malah menganjurkan pasien menggunakan Jamkesmas untuk berobat di sana.
Hal senada juga terjadi di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda Aceh beberapa waktu lalu. Pihak rumah sakit milik pemerintah Aceh itu masih membebankan biaya pendaftaran pasien dan biaya pengambilan obat.
Memang jalan hidup bagi orang miskin sangat berliku, menapaki tanjakan tinggi, menuruni turunan curam dan menghadapi jurang yang begitu dalam. Apakah masyarkat miskin harus terus terjerat dalam ketidakpedulian kita. Mudah-mudahan program JKA ini tidak hanya menjadi angin surga belaka bagi para dhuafa. Semoga.
Sumber : http://faridwajidi.wordpress.com/2010/06/10/sehat-itu-mahal