Mungkinkah Risiko Flu Babi Terkait Genetika?

Pandemik influenza A(H1N1) atau yang juga dikenal dengan flu babi menyentak seluruh dunia dan mengingatkan pada pandemik yang sama pada 1918 dimana jutaan orang mati karena flu. Bahkan sampai saat ini, walaupun terdapat tren penurunan jumlah kasus baru, pandemik ini belum selesai secara total.

Di dunia, sebanyak 214 negara yang tersebar di semua benua ikut terpengaruh, dengan lebih dari 18,000 kematian (Data WHO 13 Juni 2010). Di Asia, pandemik ini sampai sekarang masih aktif bersirkulasi di Malaysia dan Singapore dengan tren penurunan.

Di Indonesia sendiri, walaupun laporan WHO 13 Juni 2010 menyebutkan tidak adanya aktivitas penularan baru di Indonesia selama bulan Juni 2010, meski secara akumulatif telah terjadi lebih dari 1000 penularan (Laporan Depkes RI 23 Agustus 2009) dengan 5 kasus kematian.
Dalam masyarakat modern dewasa ini, sangat sulit untuk sama sekali menghindari paparan virus A(H1N1). Bahkan pembatasan traveling (travel restriction) diragukan faedahnya sebagai metode yang efektif dalam membendung pandemik ini.

Kebanyakan orang pasti pernah terpapar virus ini, dengan tingkat paparan yang berbeda-beda. Namun secara relatif tidak kita lihat angka yang fantastis pada jumlah orang terinfeksi. Sementara diantara orang yang terinfeksi hanya sedikit yang penyakitnya bertambah parah hingga tahap krisis.

Loius Pasteur, salah satu peletak dasar ilmu mikrobiologi, mengakui bahwa pertanyaan terpenting yang belum dapat dijawab (pada masanya) oleh penelitian-penelitian penyakit infeksi adalah adanya tingkat variabilitas keparahan infeksi yang luar biasa diantara orang-orang yang terinfeksi oleh mikroorganisme yang sama.

Saat ini orang memahami bahwa perbedaan tingkat variabilitas keparahan infeksi itu disebabkan salah satunya oleh perbedaan tingkat imunitas. Tapi mengapa hal ini terjadi? Mengapa orang memiliki tingkat respon imun yang berbeda?

Komposisi dan variasi materi genetik adalah salah satu jawabannya. Materi genetik kita, dengan tingkat yang berbeda-beda, menentukan seberapa besar risiko kita terinfeksi, seberapa parah penyakitnya jika terinfeksi, dan bahkan apa perawatan yang paling sesuai untuk mencegah berkembangnya keparahan penyakit.

Inilah yang disebut dengan kerentanan genetik terhadap infeksi (genetic susceptibility to infection). Variasi genetik dapat melibatkan hanya satu gen (monogenic), namun dapat juga banyak gen (polygenic).

Kerentanan genetik manusia terhadap berbagai infeksi

Variasi-variasi genetik yang menentukan perbedaan kerentanan terhadap infeksi berbagai penyakit seperti malaria, HIV/AIDS dan tuberkulosis sudah cukup banyak diteliti.

Contoh yang banyak dikenal adalah bagaimana orang-orang dengan berbagai kelainan sel darah merah seperti penyakit sel sabit (sickle-cell disease) dan thalassemia memiliki kekebalan terhadap infeksi malaria.

Kerentanan genetik manusia terhadap influenza A(H1N1)

Apakah pandemik A(H1N1) juga menunjukkan kerentanan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik? Belum ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Namun terdapat berbagai penelitian serupa terhadap strain virus flu yang lain yang menunjukkan kerentanan tersebut.

Sebuah laporan penelitian yang dipublikasikan pada 2008 menunjukkan bahwa pada penduduk Utah (AS) memiliki risiko kematian akibat flu yang meningkat diantara orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan (jauh maupun dekat). Hal ini menunjukkan kontribusi faktor-faktor genetik.

Penelitian lain yang lebih baru (2009) pada tikus menunjukkan adanya kontribusi yang besar dari faktor-faktor genetik terhadap infeksi influenza A, suatu kelas strain influenza virus dimana H1N1 terkelompok.

Walaupun terdapat berbagai kemajuan dalam penelitian influenza, belum ada penelitian yang mempelajari kerentanan manusia terhadap infeksi influenza A(H1N1). Bukti-bukti yang didapat sejauh ini seluruhnya berasal dari hewan. Ini dapat dimengerti sebab banyak faktor non-genetik yang juga ikut berperan pada kerentanan manusia terhadap infeksi, seperti nutrisi, gaya hidup, paparan obat tertentu, paparan agen-agen infeksi lain dan lain-lain.

Faktor-faktor non-genetik ini menyulitkan penelitian kerentanan genetik terhadap infeksi, sebab mereka berinteraksi dengan faktor-faktor genetik dalam menimbulkan tingkat kerentanan tertentu. Sementara, pada hewan interaksi ini lebih mudah dikontrol.

Apa yang perlu dilakukan? Perlunya riset multi-center

Adalah sangat dimungkinkan bahwa pandemik A(H1N1) yang terjadi saat ini akan terjadi lagi secara periodik, bersama dengan potensinya untuk bermutasi menjadi strain baru dengan tingkat virulensi yang tidak diketahui.

Diperlukan pengetahuan akan gen-gen tertentu yang memberi kontribusi pada risiko infeksi A(H1N1) untuk meningkatkan usaha pencegahan infeksi terhadap orang sehat dan perawatan terhadap yang sudah sakit.

Penelitian-penelitian mengenai kerentanan genetik perlu diikuti dengan penelitian-penelitian yang mempelajari bagaimana faktor-faktor genetik itu berperan terhadap efektivitas dan keamanan usaha-usaha pencegahan (mulai dari pemberian vaksin hingga sekedar mencuci tangan), progresivitas penyakit dan kemanjuran serta keamanan perawatan yang saat ini operasional.

Perhatian terhadap variasi etnik juga perlu ditekankan, sebab banyak bukti menunjukkan perbedaan pengaruh genetik diantara etnik-etnik yang berbeda.

Adanya faktor-faktor non-genetik, seperti telah disebutkan di atas, di dalam populasi manusia tidak mungkin dihindari. Secara alami, dalam populasi manusia faktor-faktor genetik dan non-genetik memang ada dan berinteraksi satu sama lain.

Oleh karena itu, penelitian-penelitian terhadap manusia perlu dilakukan dengan memperhatikan adanya faktor-faktor ini. Dalam hal ini, sangat penting untuk secara awal mengidentifikasi berbagai faktor yang ada dalam populasi manusia, untuk kemudian dimonitor sepanjang penelitian berlangsung. Dengan demikian, kesimpulan yang ditarik haruslah secara hati-hati dibuat dalam konteks terbatas pada faktor-faktor yang terlibat.

Dalam dekade terakhir ini, para peneliti ilmu hayat menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam memahami peranan faktor-faktor genetik pada penyakit-penyakit yang banyak menyerang manusia, seperti diabetes, kardiovaskular, alergi, skizofrenia, dan lain-lain.

Benar, bahwa begitu banyak pertanyaan masih menjadi misteri. Namun perlu juga diakui bahwa sekarang nampak jelas gen-gen kandidat yang berperan dalam terjadinya penyakit-penyakit diatas. 

Banyak temuan masa kini terlahir dari penelitian Genome-wide association studies (GWAS), dimana sejumlah besar variasi-variasi genetik manusia dapat secara serentak dianalisis dalam populasi sample manusia yang sangat banyak.

Kemajuan terkini dalam analisis variasi genetik adalah yang disebut dengan Next-Generation Sequencing (NGS), yang memiliki kemampuan mengidentifikasi keseluruhan 3 miliar susunan nukleotida dalam genom manusia hanya dengan hitungan beberapa minggu dan biaya relatif murah.

Kedua metode yang relatif baru ini dapat sangat membantu para peneliti dalam melakukan analisis kompleksitas kontribusi faktor genetik terhadap berbagai penyakit, termasuk kerentanan terhadap infeksi A(H1N1).

Usaha-usaha penelitian yang terintegrasi perlu dilakukan untuk mengkoordinasi sumber-sumber daya yang ada untuk keperluan ini.

Mempertimbangkan besarnya pengaruh terhadap kesehatan masyarakat, suatu usaha koordinatif perlu dipelopori melalui kerjasama Depkes RI, LIPI dan berbagai universitas.

Penulis
Dr. Teguh Haryo Sasongko (MD, PhD)

Share

Baca Juga :